Ditagih Malah Baper: Gaya Baru Pengutang Zaman Sekarang

Kamis, 22 Mei 2025 18:07 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Dalam Politik atau Hubungan, Kemarahan Itu Berbahaya
Iklan

Ditagih malah baper, bukan bayar. Inilah gaya baru pengutang zaman sekarang: baper dulu, transfer belakangan (kalau inget)

***

“Bro, boleh pinjem dulu seratus?”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang sudah tidak menjadi rahasia lagi jika menyangkut perkara uangbisa menguji seberapa kuat tali pertemanan. Niat baik membantu teman yang sedang kesulitan finansial kerap berakhir pada kekecewaan. Bukan karena tidak ikhlas, melainkan karena rasa percaya dibalas dengan ketidakjujuran, penghindaran, sampai permainan emosi.

Fenomena yang seringkali terjadi adalah orang pinjem uang kemudian menghilang, chat dibaca tetapi tidak dibalas, ditelepon tidak diangkat, sampai ada yang memblokir media sosial, seakan jika menghilang utangnya pun ikut raib.

Ironisnya, ketika ditagih mereka malahan baper. Mendadak sensitif, merasa diserang, atau sampai memainkan kartu “mental isu” untuk menghindari tanggung jawab ini. padahal ketika meminjam pada awalnya kata-katanya manis, penuh harapan, dan minta dimengerti.

Anehnya lagi, jika dilihat dari gaya hidupnya tidaklah menggambarkan orang yang sedang kesulitan finansial. Masih bisa jajan berbagai hal, asik nongkrong di mana-mana, beli per-kincare-an, sampai beli barang-barang yang tidak menjadi kebutuhan pokok. Beberapa orang juga meminjam duit bukan untuk hal-hal yang mendesak, tetapi untuk keinginan sesaat atau gaya hidup seperti beli barang baru, tiket konser, atau gadget incaran. Mereka lebih memilih mengutang daripada menabung.

Bentuk utang yang sering diremehkan lainnya yaitu utang-utang kecil yang menimbun karena berawal dari “sekedar nitip”. Contohnya,”Nitip makan ya, nanti diganti,” atau “Bayarin dulu ya, lupa bawa cash.” Sepintas memang terlihat remeh, tetapi jika hal ini terus-menerus berkelanjutan dan tidak pernah dibayar, nominalnya bisa menjadi cukup besar. Si peminjam tidak merasa memiliki utang karena sedari awal sudah menganggapnya remeh.

Permasalahannya adalah tidak hanya sekadar tentang nominal, tetapi tentang sikap. Jika seseorang berani meminjam, dia juga harus berani bertanggung jawab. Kita sebagai pihak yang meminjamkan juga perlu menyadari bahwa menagih utang merupakan hak kita. Janganlah takut dinilai jahat, terlalu menekan, atau pun tidak pengertian. Buang rasa “ga enakan” itu. Uang yang kita pinjamkan bukanlah uang sisa, tetapi hasil dari kerja keras bekerja atau pun menabung. Kita memiliki hak untuk memperjuangkan apa yang memang menjadi milik kita. Jangan capek atau berhenti hanya karena telah lama berlalu. Malah hal tersebut yang seringkali dimanfaatkan yaitu ketika kita diam saja mereka akan tenang.

Pertemanan memang bisa rusak akibat perkara uang. Maka dari itu harus lebih selektif lagi untuk meminjamkan uang kepada orang termasuk kepada teman. Memberi bantuan adalah hal yang baik, tetapi tetap harus memiliki batas. Jangan sampai rasa empati kita justru dijadikan celah untuk mereka “para pengutang” manfaatkan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Shabrina Ghossani

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler